Skip to main content
Artikel

SABU, SI PUTIH YANG BIKIN CANDU

Dibaca: 40748 Oleh 19 Nov 2021Januari 4th, 2022Tidak ada komentar
SABU, SI PUTIH YANG BIKIN CANDU
#BNN #StopNarkoba #CegahNarkoba

Dari tahun ke tahun, seringkali kita mendengar selebritis yang tertangkap polisi atau BNN karena kasus penyalahgunaan narkoba. Tak hanya artis, pejabat pun ada yang terciduk karena menggunakan narkoba. Masyarakat menengah ke atas maupun menengah ke bawah juga banyak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba. Tidak mengherankan jika data BNN menunjukkan prevalensi pengguna pernah pakai narkoba di Indonesia sebesar 2,4 % dengan rentang usia 15 – 64 tahun.

Berdasarkan hasil survei BNN RI Tahun 2019, sabu merupakan narkotika terbanyak kedua setelah ganja, yang digunakan masyarakat Indonesia. Sabu sebenarnya narkotika yang mengandung zat methamfetamin. Methamfetamin sendiri termasuk dalam narkotika golongan I dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sehingga sabu sama sekali dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Ini artinya sabu tidak boleh digunakan untuk pengobatan, namun hanya boleh digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.

Sebelum menjadi salah satu jenis narkotika yang saat ini paling banyak disalahgunakan, methamfetamin awalnya hanyalah jenis obat yang dimaksudkan untuk penderita asma. Dikutip dari Wikipedia, methamfetamin pertama kali ditemukan oleh ahli farmasi Jepang bernama Nagai Nagayoshi yang sedang melakukan riset di Universitas Humboldt, Berlin pada tahun 1871.

Nagayoshi mengisolasi senyawa efedrina dari tanaman Cina, Ephedra sinica, yang menimbulkan efek stimulan. Efedrina diharapkan dapat digunakan pada penderita asma, tetapi perusahaan farmasi di Jerman menolak memproduksi obat tersebut karena efeknya yang sama dengan adrenalin. Hal ini memicu Nagayoshi meningkatkan efek efedrina menjadi metamfetamin. Namun, saat itu Nagayoshi belum bisa membuat aplikasi praktis methamfetamin dan obat itu sempat terlupakan.

Kemudian pada tahun 1919, seorang ahli kimia asal Jepang bernama Akira Ogata, berhasil menemukan proses yang lebih mudah dan cepat untuk memproduksi kristal  methamfetamin yang berasal dari formula efedrina milik Nagayoshi. Formula tersebut akhirnya dibeli oleh perusahaan farmasi asal Inggris dan dipasarkan di Eropa sebagai obat untuk gangguan jiwa. Lalu pada tahun 1934, sebuah perusahaan farmasi Jerman bernama Temmler mulai memproduksi methamfetamin untuk konsumsi publik. Saat itu, methamfetamin ditujukan untuk meningkatkan konsentrasi dan tingkat kesadaran, sebagai obat bagi penderita gangguan hiperaktif atau Attention Deficit Hiperactivity Syndrome (ADHD) dan gangguan tidur narkolepsi.

Methamfetamin memiliki banyak nama di kalangan penyalahgunanya. Nama lain methamfetamine di antaranya adalah Crank, Chalk, Crystal, Dunk, Gak, Ice, Meth, Pookie, Quartz, Rocket, Fuel, Scooby, Snax, Speed, Trash, Croak, Hugs ang Kisses, Party and Play (P&P). Di Indonesia, methamfetamin dikenal dengan nama sabu. Namun sabu yang beredar pun terkadang telah dicampur dengan zat lain, tidak murni hanya mengandung methamfetamin.

Sabu berbentuk kristal seperti butiran pecahan kaca, berwarna putih, agak berkilau, tidak berbau, pahit, dan mudah larut dalam air. Biasanya orang menggunakan sabu dengan cara dihisap seperti rokok, dihirup, ditelan (jika dalam bentuk pil), atau menyuntikkannya. Kebanyakan penyalahguna sabu di Indonesia menghirup asap hasil pembakaran sabu. Kristal sabu diletakkan di atas timah, lalu timah tersebut di bakar. Asap hasil pembakaran disalurkan lewat corong dan selang/pipa kemudian dihirup melalui hidung, ke tenggorokan, paru-paru, jantung dan terus masuk ke otak. Alat bantu untuk penggunaan sabu seperti ini biasa disebut bong.

Seperti kebanyakan efek narkotika pada umumnya, sabu tentunya berpengaruh langsung pada susunan saraf pusat di otak. Methamfetamin dalam sabu meningkatkan jumlah dopamin alami dalam otak. Dopamin adalah hormon yang berperan mengendalikan gerak tubuh, dorongan, perilaku, dan perasaan bahagia. Sabu mampu dengan cepat meningkatkan level dopamin alami otak, sehingga tubuh penggunanya akan membutuhkan sabu kembali untuk mendapatkan efek level dopamin yang sama. Efek methamfetamin pada dopamin inilah yang membuat pengguna sabu menjadi kecanduan.

Tidak hanya itu, sabu juga dapat menimbulkan berbagai dampak kesehatan yang merugikan penggunanya. Efek jangka pendek yang ditimbulkan sabu diantaranya adalah meningkatnya aktivitas fisik, menurunnya nafsu makan, sesak nafas, detak jantung meningkat dan tidak beraturan, serta meningkatkan tekanan darah dan suhu tubuh. Sedangkan efek jangka panjang dari penggunaan sabu adalah menurunnya berat badan scara drastis, kecanduan, kerusakan pada gigi, gatal-gatal pada tubuh sampai menimbulkan luka goresan bekas digaruk, struktur dan fungsi otak terganggu, kebingungan, hilangnya memori, masalah pada tidur, perilaku kasar, paranoid, dan halusinasi.

Dampak kesehatan lain yang terkait penggunaan sabu adalah terjadinya kelahiran bayi prematur, lepasnya plasenta dari rahim, berat badan lahir rendah pada bayi, keletihan saat hamil, serta masalah pada pertumbuhan otak dan jantung janin. Selain itu, penggunaan sabu dengan menggunakan jarum suntik bersama dapat menyebabkan penyakit Hepatitis dan HIV AIDS. Jika digunakan secara berlebihan sampai over dosis, sabu juga dapat menyebabkan kematian. Menurut National Institute of Drug Abuse, tercatat ada sekitar 16.500 orang meninggal akibat over dosis methamfetamin pada tahun 2019.

Selain merugikan kesehatan, sabu juga dapat merugikan ekonomi. Berdasarkan data dari Indonesia Drugs Report 2021, sabu tergolong narkotika termahal dibandingkan ekstasi dan ganja. Harga sabu dalam peredaran gelapnya mulai dari harga terendah berkisar Rp 550.000,- sampai paling mahal seharga Rp 3.250.000,- per gram. Bayangkan jika seseorang sudah sampai kecanduan sabu, ia harus menggunakan sabu minimal satu minggu sekali. Berapa banyak uang yang akan dihabiskannya hanya untuk membeli sabu. Padahal belum tentu penghasilan yang diterimanya setiap bulan melebihi harga satu gram sabu tersebut. Belum lagi uang yang harus dikeluarkan untuk biaya pengobatan jika penggunanya mengalami gangguan kesehatan akibat pemakaian sabu.

Sabu termasuk ke dalam jenis narkotika golongan I bukan tanaman. Secara hukum berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009, jika diketahui ada yang memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan sabu, maka dapat dikenakan pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua belas tahun. Tidak hanya pidana penjara 4-12 tahun, para bandar sabu pun dapat dikenakan hukuman penjara seumur hidup sampai hukuman mati. Tak sedikit para bandar narkoba yang tertangkap akhirnya menerima hukuman mati karena sudah banyak nyawa orang lain juga yang mati karena penggunaan narkoba.

Demikianlah dampak dan bahaya dari penggunaan sabu maupun ketentuan hukum yang mengaturnya. Sabu tidak hanya menimbulkan kecanduan, tetapi juga dampak kesehatan pada tubuh dan secara psikologis dapat menimbulkan gangguan jiwa (paranoid dan halusinasi). Dari sisi ekonomi penggunanya, sabu jelas akan menguras seluruh penghasilan karena harganya yang sangat mahal dan tak wajar. Hal ini tentunya sangat merugikan penggunanya.

Jelas sekali sabu ataupun narkotika jenis lainnya tak memberikan manfaat apapun pada para penggunanya. Narkoba hanya merusak generasi dan merugikan negara. Oleh sebab itu, pemerintah terus berupaya memberantas peredaran gelap dan mencegah segenap bangsa Indonesia menjadi penyalahguna narkoba. Mari bersama bergerak  menyelamatkan negeri Indonesia dari ancaman bahaya narkoba demi masa depan generasi penerus bangsa yang cerah. (RP)

 

Ditulis oleh Ratna Puspitasari, S.Psi

Penyuluh Narkoba BNNP Sumsel

Kirim Tanggapan

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel