
Juli 2021 silam, dunia artis Indonesia sempat dihebohkan dengan terjeratnya pasangan selebritis Nia Ramadhani dan Ardie Bakrie atas kasus penyalahgunaan narkoba jenis sabu. Berdasarkan berita di laman DetikHot, alasan pasangan ini menggunakan sabu karena stres yang dialami selama masa pandemi Covid-19. Sabu dijadikan sebagai tempat pelarian dari masalah yang sedang melanda.
Lain halnya dengan kasus yang dialami seorang pemuda di Palembang. Seperti dikutip dari TribunJakarta.com, pemuda bernama Taswin tega membakar rumahnya sendiri karena tak diberi uang oleh ibunya untuk membeli narkoba. Tak hanya rumahnya yang terbakar habis, kebakaran ini pula melalap 18 rumah tetangganya di kawasan belakang Pasar Gubah, Kelurahan Bukit Kecil, Kota Palembang pada Januari 2021 lalu.
Dua kasus di atas menggambarkan betapa kondisi mental seseorang sangat mempengaruhi perilakunya. Kondisi mental berupa stres dapat menjadi pemicu penyalahgunaan narkoba. Dan juga sebaliknya, narkoba juga dapat merusak mental penggunanya. Narkoba dapat menjadi penyebab sekaligus akibat dari tidak stabilnya kondisi mental.
Stres merupakan salah satu kondisi mental yang selalu menjadi alasan utama seseorang memilih narkoba sebagai sarana pelampiasan. Sumber stres dapat berasal dari masalah apapun, misalnya konflik dalam keluarga dan tekanan pekerjaan. Berdasarkan data hasil survei BNN RI tahun 2019, konflik keluarga mejadi salah satu alasan pertama kali seseorang memakai narkoba. Data ini menyebutkan bahwa ada sekitar 1,5 % laki-laki dan 7,9 % perempuan yang menyatakan alasan pertama kali pakai narkoba adalah konflik keluarga.
Selain menjadi penyebab penyalahgunaan narkoba, kondisi mental tertentu juga dapat menjadi dampak dari penyalahgunaan narkoba. Menurut data dalam Indonesia Drugs Report 2020, salah satu dampak kesehatan dari penyalahgunaan narkotika jika digunakan secara jangka panjang adalah gangguan jiwa. Narkoba juga berdampak pada kesehatan mental penggunanya. Dampak kesehatan mental yang paling banyak dialami pengguna narkoba adalah takut, cemas, dan panik.
WHO mendefinisikan kesehatan mental sebagai kondisi kesejahteraan individu yang menyadari potensinya sendiri, dapat mengatasi tekanan kehidupan yang normal, dapat bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya. Individu yang sehat mentalnya dapat mengatasi berbagai permasalahan dan tekanan kehidupan dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki. Mental yang sehat juga mampu mengarahkan individu untuk hidup lebih produktif dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya.
Adapun individu yang sehat mentalnya memiliki beberapa karakteristik di antaranya adalah mampu belajar sesuatu dari pengalaman, mampu beradaptasi, lebih senang memberi daripada menerima, lebih cenderung membantu daripada dibantu, memiliki rasa kasih sayang, memperoleh kesenangan dari segala hasil usahanya, menerima kekecewaan dengan menjadikan kegagalan sebagai pengalaman, serta selalu berpikir positif.
Sedangkan individu yang mentalnya sakit (mental illness) memiliki ciri-ciri yaitu merasa tidak bahagian dalam kehidupan dan hubungan sosial, merasa tidak aman, tidak percaya dengan kemampuan sendiri, tidak memiliki kematangan emosional, kepribadian yang labil, mengalami gangguan dalam sistem syaraf, dan tidak dapat memahami kondisi diri sendiri. Mental yang tidak sehat juga ditandai dengan adanya kecemasan, mudah tersinggung, agresif dan destruktif (merusak), tidak mampu menghadapi kenyataan secara realistik, memiliki gejala psikosomatis (sakit fisik yang diakibatkan oleh gangguan psikis seperti stres), serta tidak beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Beberapa gejala sakit mental tersebut jika tidak diatasi dengan tepat dapat mengakibatkan berbagai penyimpangan perilaku, salah satunya adalah penyalahgunaan narkoba. Individu memilih narkoba sebagai pelampiasan dari perasaan cemas, takut, stres, bahkan depresi. Narkoba dianggap sebagai obat yang dapat menghilangkan rasa bosan, menimbulkan perasaan bahagia dan menyenangkan, melupakan masalah dan membuat jadi lebih tenang, serta membuat lebih percaya diri dan berani.
Anggapan salah tentang narkoba inilah yang menjebak penggunanya dari hanya ingin mencoba atau ingin tahu saja, akhirnya menjadi seorang pecandu. Ketika narkoba sudah masuk ke dalam tubuh dan mulai mempengaruhi otak, saat itulah narkoba mulai mengambil alih pikiran, perasaan, dan perilaku individu. Jika narkoba sudah terlalu sering digunakan dalam jangka waktu yang lama, tentunya akan menimbulkan ketergantungan.
Narkoba khususnya narkotika pada dasarnya adalah zat yang dapat menurunkan atau mengubah kesadaran serta mengurangi atau menghilangkan rasa dan rasa nyeri. Efek narkotika seperti ini timbul karena memang narkotika bekerja langsung pada sistem saraf manusia terutama di otak, sebagai pusat pengendali dari segala aktivitas organ tubuh, pikiran, dan perasaan manusia.
Selain menimbulkan ketergantungan, penggunaan narkoba juga dapat mempengaruhi kondisi mental seseorang, bahkan bisa sampai pada kondisi gangguan mental atau jiwa. Menurut Abdul Majid dalam buku Bahaya Penyalahgunaan Narkoba, narkoba dapat mempengaruhi mental seseorang di antaranya memperlabil kondisi psikologis dan mempengaruhi perilaku, hilangnya kontrol akal sehat, daya pikir yang terus menurun, hilangnya rasa malu, serta gelisah dan susah berkepanjangan.
Sedangkan dari data yang diperoleh BNN dalam Indonesia Drug Report 2020, berbagai persoalan mental emosional yang diakibatkan oleh penggunaan narkoba antara lain adalah takut, cemas, panik, dikucilkan, paranoid, gangguan memori, dicap negatif oleh saudara dan teman, depresi, putus asa, membenci diri sendiri, mengalami kekerasan keluarga dan orang lain, halusinasi, membenci orang tua dan saudara kandung, ingin bunuh diri, dan terputus hubungan dengan keluarga.
Tidak hanya itu, penyalahgunaan narkoba juga dapat menimbulkan gejala gangguan jiwa seperti skizofrenia. Skizofrenia adalah kondisi gangguan jiwa dimana penderitanya mengalami gejala halusinasi, delusi, bicara dan perilaku kacau, menarik diri, emosi datar, kehilangan minat, dan tidak bisa membedakan mana yang nyata dan tidak nyata atau hanya dalam pikirannya saja. Seperti yang dilansir dalam WebMD bahwa narkotika jenis ganja dapat menjadi penyebab skizofrenia. Semakin muda usia seseorang menggunakan ganja, maka akan semakin besar kemungkinan resiko mengidap skizofrenia.
Tidak hanya ganja, sabu dan ekstasi juga dapat mengakibatkan penggunanya mengalami gangguan jiwa. Dilansir dari National Geographic Indonesia, sabu yang mengandung metampetamin mempengaruhi zat-zat kiwiawi di otak yang dapat mempengaruhi kesehatan mental pemakainya. Ekstasi juga mempengaruhi jumlah serotonin alami di otak. Jumlah serotonin yang dilepaskan ekstasi akan menurunkan jumlah serotonin di otak, sehingga membuat pemakai ekstasi justru mengalami depresi.
Jadi, kesehatan mental sangat besar pengaruhnya pada penyalahgunaan narkoba. Sebaliknya, penyalahgunaan narkoba juga dapat menyebabkan kesehatan mental terganggu. Ini seperti siklus yang jika tidak segera diputus rantainya akan terus membuat pengguna narkoba terombang-ambing dalam kondisi mental yang tidak sehat.
Kesehatan mental memiliki peran sangat penting dalam kelangsungan hidup individu. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pencegahan bukan hanya melalui pemberian informasi seputar bahaya narkoba, tetapi juga harus memberikan edukasi tentang bagaimana individu menghadapi berbagai persoalan dan tantangan hidup. Upaya pencegahan seperti ini tidak hanya meningkatkan kesehatan mental masyarakat agar tidak terjerumus narkoba, tetapi juga dapat mengurangi jumlah penyalahguna narkoba serta penderita gangguan jiwa. (RP)
Ditulis oleh Ratna Puspitasari, S.Psi.
Penyuluh Narkoba Ahli Pertama BNNP Sumsel