
Pada awal Juli 2022 media sosial dihebohkan dengan viralnya lagu berjudul Sikok Bagi Duo yang bernuansa musik remix. Lagu ini dinyanyikan oleh seorang biduan yang diiringi oleh musik DJ asal Kota Lubuk Linggau Provinsi Sumatera Selatan. Banyak netizen menyukai lagu yang bernuansa musik remix ini sehingga membuat lagu ini menjadi terkenal.
Rupanya kehebohan lagu ini menuai tanggapan serius dari pihak BNN Kota Lubuk Linggau, tempat lagu ini berasal. Sang penyanyi dipanggil untuk dimintai keterangan. Lirik lagu Sikok Bagi Duo dinilai berisi ajakan untuk menggunakan narkoba yang kontraproduktif dengan tugas BNN. Viralnya lagu ini dikhawatirkan dapat mempengaruhi generasi muda untuk menyalahgunakan narkoba. Meskipun diakui sang penyanyi, bahwa ia hanya secara spontan menyanyikan lagu tersebut pada saat acara pernikahan salah seorang warga di Lubuk Linggau, bukan dengan maksud mengajak memakai narkoba.
Namun secara psikologis, sebuah lagu dapat menjadi cerminan dari kondisi jiwa atau pengalaman dari penciptanya. Hal ini terkait dengan istilah sublimasi dalam teori psikoanalisa. Sublimasi merupakan akar dari kebudayaan manusia. Dalam teori ini, setiap manusia memiliki dorongan atau nafsu yang tetap menuntut pemenuhan dan harus dipenuhi. Agar dapat diterima oleh masyarakat sekitar, dorongan ini dialihkan ke dalam bentuk yang berbeda seperti ilmu pengetahuan, aktivitas olahraga, dan karya seni.
Musik dan lagu merupakan salah satu bentuk karya seni. Musik dan lagu juga biasanya tercipta dari pengalaman rasa, batin, dan indera penciptanya. Memang tak diketahui secara pasti hal apa yang mendasari pencipta lagu tersebut saat membuat lagu Sikok Bagi Duo. Namun bisa jadi berasal dari pengalaman yang dilihatnya saat bekerja menjadi musisi di dunia seni organ tunggal.
Kesenian organ tunggal seringkali menjadi ajang peredaran dan penyalahgunaan narkoba jenis sabu dan ekstasi. Dalam pemakaiannya di kalangan pecandu, ekstasi terkadang dikonsumsi secara bersamaan, satu pil ekstasi dibagi untuk dua sampai empat orang dengan tujuan menghemat uang. Kemudian sesaat setelah menelan pil ekstasi, untuk mempercepat reaksi pil atau “menekan” efeknya, digunakanlah zat tertentu sehingga mereka akan segera merasakan efek “ngefly” atau “naik”. Saat “naik” inilah, para pengguna ekstasi bisa menikmati irama remik musik dari DJ organ tunggal.
Lagu Sikok Bagi Duo bisa jadi mencerminkan kondisi pemakaian narkoba pada acara-acara organ tunggal yang seringkali tampil dalam pesta atau hajatan di beberapa desa. Suasana desa dalam bayangan kita sebagai tempat yang tenang, nyaman, dan damai untuk ditinggali tidaklah sepenuhnya nyata. Desa yang jauh dari jangkauan pelayanan dan luput dari perhatian pemerintah justru menjadi wilayah strategis untuk jalur penyelundupan dan peredaran gelap narkoba.
Menurut Kepmendagri Nomor 050-145 tahun 2022, ada sekitar 74.961 desa di Indonesia yang tersebar di 34 provinsi. Jumlah desa ini tentunya lebih banyak dari jumlah kota di Indonesia yang hanya berjumlah 98 kota. Dengan demikian, sangat disayangkan jika jumlah wilayah desa yang demikian banyaknya menjadi tempat peredaran narkoba. Apalagi segala sumber daya alam Indonesia kebanyakan berada di wilayah pedesaan. Jika masyarakat desa yang mengelola sumber daya alam banyak yang menjadi pecandu narkoba, maka bagaimana pengelolaannya akan berjalan dengan baik untuk kesejahteraan rakyat.
Banyak faktor yang menjadi penyebab desa menjadi kawasan rawan peredaran narkoba. Dalam buku Potensi Desa dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba oleh BNN, disebutkan bahwa faktor penyebab kerawanan narkoba di desa diantaranya adalah gagal panen, tingkat kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, sulitnya aparat hukum mengkases lokasi kultivasi dan pabrik narkotika, rendahnya pemahaman masyarakat desa tentang bahaya narkoba, kurangnya pengawasan aktivitas orang asing di pedesaan, kurang optimalnya sistem keamanan di desa, dan budaya masyarakat desa yang terttutup pada perubahan.
Desa yang menjadi target sasaran para bandar narkoba adalah desa yang berbatasan dengan perbatasan negara dan pesisir pantai. Kurang ketatnya pengawasan di desa sebagai perbatasan negara menjadi celah bagi bandar memasukkan narkoba dari luar ke Indonesia. Sama halnya dengan pesisir pantai, lemahnya ekonomi para nelayan menjadi celah bagi para bandar menitipkan barang haram tersebut lewat kapal-kapal nelayan. Tak hanya itu, wilayah Indonesia yang sebagian besar adalah kepulauan membuat bandar leluasa menyelundupkan narkoba lewat jalur laut yang luas.
Maraknya peredaran narkoba di desa inilah yang mendorong BNN RI mencanangkan program Desa Bersinar (Bersih dari Narkoba) sebagai upaya pelaksanaan P4GN (Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba) di desa yang rawan narkoba. BNN RI menggandeng Kementerian Desa dan berbagai stakeholder untuk menjalankan program Desa Bersinar. Program-program P4GN dijalankan dengan bantuan dana desa yang dikelola desa setiap tahunnya.
Penggunaan dana desa untuk program P4GN didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa. Peraturan ini mengatur tentang penggunaan dana desa selain untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, juga dapat digunakan untuk pemberdayaan masyarakat dan kemasyarakatan. Dana desa dapat digunakan untuk P4GN dengan syarat kegiatan pencegahan narkoba masuk ke dalam peraturan Bupati/Walikota tentang Daftar Kewenangan Desa Berdasarkan hak asal-Usuk dan Kewenangan Lokal Berskala Desa, dan program P4GN juga telah dibahas dan disepakati dalam musyawarah desa pada saat menyusun dokumen perencanaan pembangunan Desa (RPJMDesa dan RPKDesa).
Indikator keberhasilan dari program Desa Bersinar adalah desa memiliki kegiatan P4GN (Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika) dan relawan anti narkoba yang dibiayai oleh dana desa. Kegiatan-kegiatan P4GN yang diselenggarakan dapat berupa kegiatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi tentang bahaya narkoba, membentuk relawan anti narkoba dan agen pemulihan, serta sistem pelaporan tindak kejahatan narkoba.
Berbagai kegiatan P4GN melibatkan segenap potensi desa yang diantaranya adalah potensi sosial, kesehatan, hukum, politik, dan keamanan. Pencegahan dini dapat memberdayakan tim penggerak PKK kelurahan, Karang Taruna dan PAUD. Relawan anti narkoba yang terbentuk dapat melakukan kegiatan penyuluhan dan menggerakkan masyarakat desa agar berperan aktif dalam upaya pencegahan, pelaporan penyalahguna narkoba ke IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor), dan pelaporan peredaran gelap narkoba kepada kepala desa, Babinsa, Babinkamtibmas atau call center BNN.
Selain relawan anti narkoba yang melakukan upaya pencegahan, agen pemulihan yang terbentuk di Desa Bersinar juga memiliki tugas melakukan pemantauan pemulihan pecandu narkoba, mengajak pecandu narkoba dalam kegiatan positif kemasyarakatan, membantu pelaksanaan destigmatisasi (menghilangkan anggapan) negatif masyarakat terhadap pecandu narkoba, serta memberikan informasi rehabilitasi berkelanjutan dan pasca rehabilitasi lanjut.
Upaya memutus mata rantai penyalahgunaan narkoba memang harus menjadi langkah bersama semua pihak mulai dari masyarakat mikro (keluarga) sampai makro baik di tingkat desa maupun kota. Program P4GN penting untuk dilakukan di lingkungan pedesaan agar masyarakat desa paham tentang bahaya narkoba yang dapat merusak kesehatan fisik dan mental bahkan tatanan kehidupan masyarakat. Sudah saatnya kita terus menggelorakan Desa Bersinar (Desa Bersih Narkoba) untuk membebaskan bangsa kita dari ancaman narkoba. (RP)
Ditulis oleh Ratna Puspitasari, S.Psi.
(Penyuluh Narkoba Ahli Pertama BNNP Sumsel)